PENDAHULUAN
Pernikahan adalah fitrah manusia,
maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah karena nikah merupakan gharizah
insaniyyah (naluri kemanusiaan). Apabila gharizah (naluri) ini tidak dipenuhi
dengan jalan yang sah, yaitu pernikahan, maka ia akan mencari jalan-jalan
syaitan yang menjerumuskan manusia ke lembah hitam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya
berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan
kacau tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan
sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Dan pernikahan telah ditetapkan
sebagai tanda kekuasaan Allah, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an, “Di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Ruum [30]:21)
BAB II
PEMBAHASAN
1.
NIKAH
SUNNAH RASULULLAH SAW
A.
Materi dan Arti
Hadits
حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِى حُمَيْدٍ الطَّوِيْلُ
اَنَّهُ سَمِعَ اَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ جَاءَ ثَلاَثَةُ
رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا
أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا، فَقَالُوْا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ
رَسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَدْغُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ وَمَاتَأَخَّرَ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا، فَأَنَا أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا،
وَقَالَ الآخَرُ: أَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ وَلاَأُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ
أَبَدًا. فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَنْتُمُ
الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَّا وَاللهِ إِنِّى َلأَخْشَاكُمْ ِللهِ
وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِّى أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ،
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى (أخرجه
البخاري فى كتاب النكاح باب الترغيب فى النكاح)
Artinya:
…
Anas Ibn Malik berkata: Datang tiga golongan
ke rumah isteri-isteri Nabi saw. menanyakan tentang ibadah Nabi saw. ketika
diterangkan kepada mereka seakan-akan mereka menganggapnya terlalu sedikit,
mereka berkata: “Jadi di mana kami
dibandingkan dengan Nabi saw. padahal beliau telah diampuni dosa-dosa beliau
yang terdahulu dan yang akan datang.”
salah satu dari mereka berkata:
“Sedangkan aku shalat malam terus menerus.” yang lain berkata: “Aku berpuasa sepanjang tahun dan tidak
berbuka.” yang lain berkata: “Aku menjauhi wanita dan tidak menikah
selamanya.” Maka datanglah Nabi saw
kepada mereka lalu berkata: “Kalian yang
berkata begini dan begitu, demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling
takut kepada Allah daripada kalian dan lebih takwa daripada kalian di
hadapanNya akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur dan
aku mengawini wanita, barang siapa yang membenci Sunnahku maka ia bukan
golonganku.” (HR. al-Bukhary pada kitab
Nikah Bab Keinginan untuk menikah)
B.
Perawi Awal dan
Perawi Akhir
Perawi awal hadits ini adalah Anas Ibn Malik Ra.
sedangkan perawi akhirnya, adalah al-Bukhary.
C.
Takhrij Hadits
No
|
Nama Kitab
|
Kitab/Bagian
|
No. Hadits
|
1.
|
Shahih Muslim
|
Nikah
|
2487
|
2.
|
Sunan al-Nasa’i
|
Nikah
|
3165
|
3.
|
Musnad Ahmad
|
Baqi Musnad al-Mukatsirin
|
13045, 13230, 13534
|
D.
Nilai Hadits
Nilai hadits shahih riwayat al-Bukhary pada kitab
al-Nikah bab al-Targhib fi al-Nikah.
E.
Syarah
Nikah termasuk salah satu di antara sunah Rasul yang
paling ditekankan. Jadi orang yang
enggan menikah, baik itu laki-laki atau perempuan, mereka sebenarnya tergolong
orang yang paling sengsara dalam hidup ini.
Islam menolak sistem ke-rahib-an (kependetaan) karena sistem tersebut
bertentangan dengan fitrah manusia.
Bahkan sikap itu berarti melawan sunah dan kodrat Allah Subhanahu wa
Ta'ala yang telah ditetapkan bagi makhluk-Nya.
Rasulullah saw. menegaskan bahwa Islam mengharamkan
at-tabattul (membujang). Beliau juga
menjelaskan bahwa kenikmatan dunia dan hasrat terhadapnya merupakan kebutuhan
manusiawi. Beliau tidak membenarkan
orang-orang yang memutuskan kebutuhan fitrahnya terhadap dunia untuk
konsentrasi beribadah kepada Allah swt.
Sikap hidup yang ditempuh Rasulullah saw. tampak jelas
sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits-haditsnya. Nabi saw. berpuasa dan berbuka – agar dapat
berpuasa kembali setelah itu. Dia shalat
malam dan tidur, agar dapat beribadah kembali setelah itu. Nabi juga menikah untuk menunjukkan kebenaran
syariah yang dibawanya. Pada bagian
akhir hadits, beliau bersabda, “Barangsiapa yang membenci sunahku, dia bukan
dari golonganku.”
Nikah hukumnya sunah bagi yang memiliki keinginan
untuk itu dan mampu untuk melangsungkannya, namun dia juga mampu menghindari
perbuatan maksiat. Sedangkan bagi orang
yang telah mampu dan takut terjatuh ke dalam perbuatan keji, maka nikah adalah
wajib hukumnya. Hal tersebut ditujukan
untuk menjaga diri dan kehormatannya agar tidak terjatuh dalam kemaksiatan.
2.
ANJURAN
NIKAH
A.
Materi dan Arti
Hadits
جّدَّثَنَا أَبُوبَكْرِ بْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالاَ
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدَ عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (أخرجه مسلم
فى كتاب النكاح باب استحباب النكاح لمن تاقت نفسه إليه ووجد مؤنة)
Artinya:
…
Abdullah Ibn Mas’ud Ra. berkata Rasulullah saw. bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda barang siapa yang mampu
untuk kawin maka kawinlah karena yang demikian lebih menundukkan mata dan lebih
memelihara kemaluan, dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia
berpuasa kerena itu adalah pengebiri bagi kamu.” (HR. Muslim pada kitab Nikah bab Anjuran
Nikah bagi memiliki keinginan sehingga mendapatkan Mu’nahnya (pengobat hasratnya)
B.
Perawi Awal dan
Perawi Akhir
Perawi awal hadits ini adalah Abdullah Ibn Mas’ud Ra.
dan perawi akhirnya adalah Muslim.
C.
Takhrij Hadits
No
|
Nama Kitab
|
Kitab/Bagian
|
No. Hadits
|
1.
|
Shahih al-Bukhary
|
Nikah
|
4677, 4678
|
2.
|
Sunan al-Turmudzy
|
Nikah ‘an Rasul
|
1001
|
3.
|
Sunan al-Nasa’i
|
Nikah
|
3155, 3156, 3157, 3158, 3159
|
4.
|
Sunan Abu Daud
|
Nikah
|
1750
|
5.
|
Sunan Ibn Majah
|
Nikah
|
1835
|
6.
|
Musnad Ahmad
|
Baqi Musnad al-Mukatsirin min al-Shahabah
|
3411, 3819, 3830, 3903, 4050
|
7.
|
Sunan al-Darimi
|
Nikah
|
2071, 2072
|
D.
Nilai Hadits
Nilai hadits shahih riwayat Muslim pada kitab al-Nikah
bab Istih bab al-Nikah liman Taqat nafsahu wa wajada Mu’nah.
E.
Syarah
Rasulullah saw. memberikan pengarahan melalui hadits
ini agar setiap jiwa mampu mengendalikan nafsunya dan menyalurkannya dengan
cara yang halal yaitu pernikahan. Rasulullah
saw. juga menyeru mereka untuk menjaga pandangan mata, pendengaran, dan
hatinya.
Selain itu, pernikahan dapat memelihara diri dan jiwa
seseorang, agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan, atau tenggelam dalam
syahwat yang merusak. Pernikahan dapat
memelihara dan menahan pandangan seseorang dari sesuatu yang diharamkan Allah
swt., memelihara kemaluan, dan menjaga harga dirinya. Pernikahan pun akan memberi ketenangan, kasih
sayang, dan rahmat.
Bagi orang-orang yang belum memiliki kemampuan untuk menikah,
sifat iffah (menjaga kesucian diri) dapat diperoleh dengan berpuasa, seperti
yang Rasulullah saw. perintahkan, “…maka hendaklah ia berpuasa.”
Puasa dapat memecahkan keinginan syahwat dan menahan
diri dari hal-hal yang bisa merusak kehormatan.
Di dalamnya juga terdapat jihat untuk mengendalikan syahwat dan hawa
hafsu. Puasa akan membiasakan manusia
dengan hal-hal yang baik, dan menghindarkan orang-orang yang melaksanakannya
dari hal-hal yang hina. Seluruhnya
ditujukan agar mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa.
3.
LARANGAN
NIKAH MUTH’AH
A.
Materi dan Arti
Hadits
حَدَّثَنِي
يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ
أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ
لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّة (أخرجه البخاري فى كتاب المغازي باب غزوة خيبر)
Artinya:
…
Ali Ibn Abi Thalib Ra. berkata bahwa Rasulullah saw. melarang nikah Muth’ah
pada Tahun Khaibar (khaibar ditaklukkan) dan melarang memakan daging kedelai
negeri. (HR. al-Bukhary pada kitab Peperangan Bab Perang Khaibar).
B.
Perawi Awal dan
Perawi Akhir
Perawi awal hadits ini adalah Ali Ibn Abi Thalib Ibn
Abdul Muthalib Ibn Hasyim Ibn Abdi Manaf al-Hasyimi Ra, lebih dikenal dengan
Abu al-Hasan dan bergelar Abu Turab, beliau wafat di Kufah tahun 40 H.
Perawi akhir hadits ini adalah al-Bukhary.
C.
Takhrij Hadits
No
|
Nama Kitab
|
Kitab/Bagian
|
No. Hadits
|
1.
|
Shahih Muslim
|
Nikah
|
2510, 2511, 2512, 2513
|
2.
|
Sunan al-Turmudzy
|
Nikah ‘an Rasul
|
1040
|
3.
|
Sunan al-Nasa’i
|
Nikah
|
3312, 3313, 3314
|
4.
|
Sunan Ibn Majah
|
Nikah
|
1951
|
5.
|
Musnad Ahmad
|
Baqi Musnad al-Asyrah al-Musyirin bi al-Jannah
|
558, 771, 1141
|
D.
Nilai Hadits
Nilai hadits shahih riwayat al-Bukhary pada kitab
al-Maghazy bab Ghazwah al-Khaibar.
E.
Syarah
Nikah Muth’ah ialah menikah dengan seorang wanita
dalam jangka waktu tertentu. Wanita
dalam nikah Muth’ah tidak berhak mahar kecuali diisyaratkan pada waktu nikah
dan tidak berhak atas warisan, nafkah setelah berpisah, tidak ada masa iddah
kecuali satu kali haid, tidak ada hubungan nasab antara laki-laki dan wanita
itu kecuali diisyaratkan pada waktu nikah.
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang
wanita tanpa harus ada wali atau saksi.
Kemudian mereka membuat kesepakatan (upah) dan batas waktu
tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih,
atau kurang. Biasanya tidak lebih dari
empat puluh lima hari. Jika masanya
telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan
tanpa warisan.
Nikah Muth’ah pernah dibolehkan oleh Nabi pada tahun
penaklukan kota Mekkah dan beberapa saat setelah itu beliau mengharamkannya.
4.
MEMILIH
CALON ISTERI
A.
Materi dan Arti
Hadits
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ
عُبَيْدِ اللهِ قَالَ حَدَّثَنِيْ سَعِيْدُ بْنُ أَبِيْ سَعِيْدٍ عَنْ أَبِيْهِ
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ لِمَالِـهَا،
وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِـهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ
تَرِبَتْ يَدَاكَ (أخرجه البخاري فى كتاب النكاح باب الأكفاء فى الدين)
Artinya:
…
Abdurrahman Ibn Shakhar (Abu Hurairah Ra. Rasulullah saw. bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat hal. karena
hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, maka
pilihlah karena agamanya karena jika tidak binasalah kedua tanganmu. (HR. al-Bukhary pada kitab Nikah bab
Orang-orang yang mampu beragama)
B.
Perawi Awal dan
Perawi Akhir
Perawi awal hadits ini adalah Abdurrahman Ibn Shakhar
(Abu Hurairah) Ra. sedangkan perawi akhirnya adalah al-Bukhary.
C.
Takhrij Hadits
No
|
Nama Kitab
|
Kitab/Bagian
|
No. Hadits
|
1.
|
Shahih Muslim
|
Al-Radha’
|
2661
|
2.
|
Sunan al-Nasa’i
|
Nikah
|
3178
|
3.
|
Sunan Abu Daud
|
Nikah
|
1751
|
4.
|
Sunan Ibn Majah
|
Nikah
|
1884
|
5.
|
Musnad Ahmad
|
Baqi Musnad al-Mukatsirin
|
9156
|
6.
|
Sunan al-Darimi
|
Nikah
|
2076
|
D.
Nilai Hadits
Nilai hadits shahih riwayat al-Bukhary pada kitab
al-Nikah bab al-Akfa’ fi al-Din.
E.
Syarah
Dalam hadits di atas Rasulullah saw. menyebutkan
terlebih dahulu hal-hal yang sangat diperhatikan oleh manusia, terutama
laki-laki, ketika hendak menikah, yakni harta, keturunan, dan kecantikan. Setelah itu semua baru beliau menyampaikan
hal yang paling utama yaitu agama.
Beliau menyampaikan bahwa setiap laki-laki pasti menginginkan keempat
kriteria tersebut dalam memilih istri dan perhatian mereka tertuju padanya.
Rasulullah saw. menyebutkan keempat tuntutan tersebut
secara berurutan, berdasarkan kecenderungan nafsu manusia hingga pada tuntutan
terakhir mereka. Padahal, tuntutan yang
terakhir, seharusnya berada di urutan pertama kerena itulah yang terpenting.
Rasulullah saw. menyeru dengan bentuk kalimat
perintah. Kemudian Rasulullah saw.
mengarahkan kepada tuntutan yang terpenting, untuk itu, beliau bersabda, “Pilihlah
yang bagus agamanya, kamu akan selamat (beruntung).”
Wanita yang baik agamanya, kelak akan menjadi istri
yang salehah dan dapat membantu suami untuk taat kepada Allah swt. Istri yang
salehah dapat menjaga kemuliaan dan kehormatan dirinya sendiri, juga suami dan
keluarganya. Karenanya, Islam melarang
seseorang menjadikan kecantikan atau harta sebagai satu-satunya syarat untuk
menikah dan tujuan utama dari pernikahan yang dilangsungkan. Sebab, kecantikan dan harta tidak akan kekal,
baik di sisi manusia, terlebih lagi di sisi Allah swt.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Pernikahan adalah fitrah manusia,
maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah karena nikah merupakan gharizah
insaniyyah (naluri kemanusiaan). Islam menolak sistem ke-rahib-an
(kependetaan) karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan Rasulullah saw. mengharamkan
at-tabattul (membujang). Nabi saw.
berpuasa dan berbuka – agar dapat berpuasa kembali setelah itu. Dia shalat malam dan tidur, agar dapat
beribadah kembali setelah itu. Nabi juga
menikah untuk menunjukkan kebenaran syariah yang dibawanya.
Selain itu, pernikahan dapat
memelihara diri dan jiwa seseorang, agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan,
atau tenggelam dalam syahwat yang merusak.
Pernikahan dapat memelihara dan menahan pandangan seseorang dari sesuatu
yang diharamkan Allah swt., memelihara kemaluan, dan menjaga harga
dirinya. Pernikahan pun akan memberi
ketenangan, kasih sayang, dan rahmat.
Bagi orang-orang yang belum memiliki
kemampuan untuk menikah, sifat iffah (menjaga kesucian diri) dapat diperoleh
dengan berpuasa. Puasa dapat memecahkan
keinginan syahwat dan menahan diri dari hal-hal yang bisa merusak
kehormatan. Di dalamnya juga terdapat
jihat untuk mengendalikan syahwat dan hawa hafsu.
Dalam memilih calon isteri Islam
melarang seseorang menjadikan kecantikan atau harta sebagai satu-satunya syarat
untuk menikah dan tujuan utama dari pernikahan yang dilangsungkan. Sebab, kecantikan dan harta tidak akan kekal,
baik di sisi manusia, terlebih lagi di sisi Allah swt.
Nikah Muth’ah (kawin kontrak) ialah
menikah dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu, tanpa harus ada wali
atau saksi. Nikah Muth’ah pernah
dibolehkan oleh Nabi pada tahun penaklukan kota Mekkah dan beberapa saat
setelah itu beliau mengharamkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar. Di Bawah Bimbingan Rasul.
Jakarta: Senayan Abadi Publishing. 2004
Ja’far, Abidin dan M. Noor Fuady. Hadits Nabawi.
Banjarmasin: Antasari Press. 2008
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar
Baru Algensindo. 2011
No comments:
Post a Comment