Saturday, July 7, 2012

Perkawinan


BAB I
PENDAHULUAN

Pernikahan adalah fitrah manusia, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah karena nikah merupakan gharizah insaniyyah (naluri kemanusiaan). Apabila gharizah (naluri) ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah, yaitu pernikahan, maka ia akan mencari jalan-jalan syaitan yang menjerumuskan manusia ke lembah hitam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dan pernikahan telah ditetapkan sebagai tanda kekuasaan Allah, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an, “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.  Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”  (ar-Ruum [30]:21)



BAB II
PEMBAHASAN

1.       NIKAH SUNNAH RASULULLAH SAW
A.        Materi dan Arti Hadits
حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِى حُمَيْدٍ الطَّوِيْلُ اَنَّهُ سَمِعَ اَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا، فَقَالُوْا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ رَسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَدْغُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَاتَأَخَّرَ. فَقَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا، فَأَنَا أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ الآخَرُ: أَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ وَلاَأُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا. فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَّا وَاللهِ إِنِّى َلأَخْشَاكُمْ ِللهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِّى أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى (أخرجه البخاري فى كتاب النكاح باب الترغيب فى النكاح)
Artinya:
… Anas Ibn Malik berkata:  Datang tiga golongan ke rumah isteri-isteri Nabi saw. menanyakan tentang ibadah Nabi saw. ketika diterangkan kepada mereka seakan-akan mereka menganggapnya terlalu sedikit, mereka berkata:  “Jadi di mana kami dibandingkan dengan Nabi saw. padahal beliau telah diampuni dosa-dosa beliau yang terdahulu dan yang akan datang.”  salah satu dari mereka berkata:  “Sedangkan aku shalat malam terus menerus.”  yang lain berkata:  “Aku berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka.”  yang lain berkata:  “Aku menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya.”  Maka datanglah Nabi saw kepada mereka lalu berkata:  “Kalian yang berkata begini dan begitu, demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah daripada kalian dan lebih takwa daripada kalian di hadapanNya akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur dan aku mengawini wanita, barang siapa yang membenci Sunnahku maka ia bukan golonganku.”  (HR. al-Bukhary pada kitab Nikah Bab Keinginan untuk menikah)

B.        Perawi Awal dan Perawi Akhir
Perawi awal hadits ini adalah Anas Ibn Malik Ra. sedangkan perawi akhirnya, adalah al-Bukhary.

C.        Takhrij Hadits
No
Nama Kitab
Kitab/Bagian
No. Hadits
1.
Shahih Muslim
Nikah
2487
2.
Sunan al-Nasa’i
Nikah
3165
3.
Musnad Ahmad
Baqi Musnad al-Mukatsirin
13045, 13230, 13534

D.        Nilai Hadits
Nilai hadits shahih riwayat al-Bukhary pada kitab al-Nikah bab al-Targhib fi al-Nikah.

E.         Syarah
Nikah termasuk salah satu di antara sunah Rasul yang paling ditekankan.  Jadi orang yang enggan menikah, baik itu laki-laki atau perempuan, mereka sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini.  Islam menolak sistem ke-rahib-an (kependetaan) karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah manusia.  Bahkan sikap itu berarti melawan sunah dan kodrat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah ditetapkan bagi makhluk-Nya.
Rasulullah saw. menegaskan bahwa Islam mengharamkan at-tabattul (membujang).  Beliau juga menjelaskan bahwa kenikmatan dunia dan hasrat terhadapnya merupakan kebutuhan manusiawi.  Beliau tidak membenarkan orang-orang yang memutuskan kebutuhan fitrahnya terhadap dunia untuk konsentrasi beribadah kepada Allah swt.
Sikap hidup yang ditempuh Rasulullah saw. tampak jelas sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits-haditsnya.  Nabi saw. berpuasa dan berbuka – agar dapat berpuasa kembali setelah itu.  Dia shalat malam dan tidur, agar dapat beribadah kembali setelah itu.  Nabi juga menikah untuk menunjukkan kebenaran syariah yang dibawanya.  Pada bagian akhir hadits, beliau bersabda, “Barangsiapa yang membenci sunahku, dia bukan dari golonganku.”
Nikah hukumnya sunah bagi yang memiliki keinginan untuk itu dan mampu untuk melangsungkannya, namun dia juga mampu menghindari perbuatan maksiat.  Sedangkan bagi orang yang telah mampu dan takut terjatuh ke dalam perbuatan keji, maka nikah adalah wajib hukumnya.  Hal tersebut ditujukan untuk menjaga diri dan kehormatannya agar tidak terjatuh dalam kemaksiatan.

2.       ANJURAN NIKAH
A.        Materi dan Arti Hadits
جّدَّثَنَا أَبُوبَكْرِ بْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدَ عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (أخرجه مسلم فى كتاب النكاح باب استحباب النكاح لمن تاقت نفسه إليه ووجد مؤنة)

Artinya:
… Abdullah Ibn Mas’ud Ra. berkata Rasulullah saw. bersabda kepada kami:  “Wahai para pemuda barang siapa yang mampu untuk kawin maka kawinlah karena yang demikian lebih menundukkan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa kerena itu adalah pengebiri bagi kamu.”  (HR. Muslim pada kitab Nikah bab Anjuran Nikah bagi memiliki keinginan sehingga mendapatkan Mu’nahnya (pengobat hasratnya)

B.        Perawi Awal dan Perawi Akhir
Perawi awal hadits ini adalah Abdullah Ibn Mas’ud Ra. dan perawi akhirnya adalah Muslim.

C.        Takhrij Hadits
No
Nama Kitab
Kitab/Bagian
No. Hadits
1.
Shahih al-Bukhary
Nikah
4677, 4678
2.
Sunan al-Turmudzy
Nikah ‘an Rasul
1001
3.
Sunan al-Nasa’i
Nikah
3155, 3156, 3157, 3158, 3159
4.
Sunan Abu Daud
Nikah
1750
5.
Sunan Ibn Majah
Nikah
1835
6.
Musnad Ahmad
Baqi Musnad al-Mukatsirin min al-Shahabah
3411, 3819, 3830, 3903, 4050
7.
Sunan al-Darimi
Nikah
2071, 2072

D.        Nilai Hadits
Nilai hadits shahih riwayat Muslim pada kitab al-Nikah bab Istih bab al-Nikah liman Taqat nafsahu wa wajada Mu’nah.
E.         Syarah
Rasulullah saw. memberikan pengarahan melalui hadits ini agar setiap jiwa mampu mengendalikan nafsunya dan menyalurkannya dengan cara yang halal yaitu pernikahan.  Rasulullah saw. juga menyeru mereka untuk menjaga pandangan mata, pendengaran, dan hatinya.
Selain itu, pernikahan dapat memelihara diri dan jiwa seseorang, agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan, atau tenggelam dalam syahwat yang merusak.  Pernikahan dapat memelihara dan menahan pandangan seseorang dari sesuatu yang diharamkan Allah swt., memelihara kemaluan, dan menjaga harga dirinya.  Pernikahan pun akan memberi ketenangan, kasih sayang, dan rahmat.
Bagi orang-orang yang belum memiliki kemampuan untuk menikah, sifat iffah (menjaga kesucian diri) dapat diperoleh dengan berpuasa, seperti yang Rasulullah saw. perintahkan, “…maka hendaklah ia berpuasa.”
Puasa dapat memecahkan keinginan syahwat dan menahan diri dari hal-hal yang bisa merusak kehormatan.  Di dalamnya juga terdapat jihat untuk mengendalikan syahwat dan hawa hafsu.  Puasa akan membiasakan manusia dengan hal-hal yang baik, dan menghindarkan orang-orang yang melaksanakannya dari hal-hal yang hina.  Seluruhnya ditujukan agar mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa.

3.       LARANGAN NIKAH MUTH’AH
A.        Materi dan Arti Hadits
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّة (أخرجه البخاري فى كتاب المغازي باب غزوة خيبر)
Artinya:
… Ali Ibn Abi Thalib Ra. berkata bahwa Rasulullah saw. melarang nikah Muth’ah pada Tahun Khaibar (khaibar ditaklukkan) dan melarang memakan daging kedelai negeri. (HR. al-Bukhary pada kitab Peperangan Bab Perang Khaibar).

B.        Perawi Awal dan Perawi Akhir
Perawi awal hadits ini adalah Ali Ibn Abi Thalib Ibn Abdul Muthalib Ibn Hasyim Ibn Abdi Manaf al-Hasyimi Ra, lebih dikenal dengan Abu al-Hasan dan bergelar Abu Turab, beliau wafat di Kufah tahun 40 H.
Perawi akhir hadits ini adalah al-Bukhary.

C.        Takhrij Hadits
No
Nama Kitab
Kitab/Bagian
No. Hadits
1.
Shahih Muslim
Nikah
2510, 2511, 2512, 2513
2.
Sunan al-Turmudzy
Nikah ‘an Rasul
1040
3.
Sunan al-Nasa’i
Nikah
3312, 3313, 3314
4.
Sunan Ibn Majah
Nikah
1951
5.
Musnad Ahmad
Baqi Musnad al-Asyrah al-Musyirin bi al-Jannah
558, 771, 1141

D.        Nilai Hadits
Nilai hadits shahih riwayat al-Bukhary pada kitab al-Maghazy bab Ghazwah al-Khaibar.

E.         Syarah
Nikah Muth’ah ialah menikah dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu.  Wanita dalam nikah Muth’ah tidak berhak mahar kecuali diisyaratkan pada waktu nikah dan tidak berhak atas warisan, nafkah setelah berpisah, tidak ada masa iddah kecuali satu kali haid, tidak ada hubungan nasab antara laki-laki dan wanita itu kecuali diisyaratkan pada waktu nikah.
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi.  Kemudian mereka membuat kesepakatan (upah) dan batas waktu tertentu.  Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang.  Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari.  Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.
Nikah Muth’ah pernah dibolehkan oleh Nabi pada tahun penaklukan kota Mekkah dan beberapa saat setelah itu beliau mengharamkannya.

4.       MEMILIH CALON ISTERI
A.        Materi dan Arti Hadits
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللهِ قَالَ حَدَّثَنِيْ سَعِيْدُ بْنُ أَبِيْ سَعِيْدٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ لِمَالِـهَا، وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِـهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (أخرجه البخاري فى كتاب النكاح باب الأكفاء فى الدين)
Artinya:
… Abdurrahman Ibn Shakhar (Abu Hurairah Ra. Rasulullah saw. bersabda:  “Wanita itu dinikahi karena empat hal. karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya karena jika tidak binasalah kedua tanganmu.  (HR. al-Bukhary pada kitab Nikah bab Orang-orang yang mampu beragama)

B.        Perawi Awal dan Perawi Akhir
Perawi awal hadits ini adalah Abdurrahman Ibn Shakhar (Abu Hurairah) Ra. sedangkan perawi akhirnya adalah al-Bukhary.
C.        Takhrij Hadits
No
Nama Kitab
Kitab/Bagian
No. Hadits
1.
Shahih Muslim
Al-Radha’
2661
2.
Sunan al-Nasa’i
Nikah
3178
3.
Sunan Abu Daud
Nikah
1751
4.
Sunan Ibn Majah
Nikah
1884
5.
Musnad Ahmad
Baqi Musnad al-Mukatsirin
9156
6.
Sunan al-Darimi
Nikah
2076

D.        Nilai Hadits
Nilai hadits shahih riwayat al-Bukhary pada kitab al-Nikah bab al-Akfa’ fi al-Din.

E.         Syarah
Dalam hadits di atas Rasulullah saw. menyebutkan terlebih dahulu hal-hal yang sangat diperhatikan oleh manusia, terutama laki-laki, ketika hendak menikah, yakni harta, keturunan, dan kecantikan.  Setelah itu semua baru beliau menyampaikan hal yang paling utama yaitu agama.  Beliau menyampaikan bahwa setiap laki-laki pasti menginginkan keempat kriteria tersebut dalam memilih istri dan perhatian mereka tertuju padanya.
Rasulullah saw. menyebutkan keempat tuntutan tersebut secara berurutan, berdasarkan kecenderungan nafsu manusia hingga pada tuntutan terakhir mereka.  Padahal, tuntutan yang terakhir, seharusnya berada di urutan pertama kerena itulah yang terpenting.
Rasulullah saw. menyeru dengan bentuk kalimat perintah.  Kemudian Rasulullah saw. mengarahkan kepada tuntutan yang terpenting, untuk itu, beliau bersabda, “Pilihlah yang bagus agamanya, kamu akan selamat (beruntung).”
Wanita yang baik agamanya, kelak akan menjadi istri yang salehah dan dapat membantu suami untuk taat kepada Allah swt. Istri yang salehah dapat menjaga kemuliaan dan kehormatan dirinya sendiri, juga suami dan keluarganya.  Karenanya, Islam melarang seseorang menjadikan kecantikan atau harta sebagai satu-satunya syarat untuk menikah dan tujuan utama dari pernikahan yang dilangsungkan.  Sebab, kecantikan dan harta tidak akan kekal, baik di sisi manusia, terlebih lagi di sisi Allah swt.



BAB III
PENUTUP

Simpulan
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah karena nikah merupakan gharizah insaniyyah (naluri kemanusiaan). Islam menolak sistem ke-rahib-an (kependetaan) karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah manusia.  Bahkan Rasulullah saw. mengharamkan at-tabattul (membujang).  Nabi saw. berpuasa dan berbuka – agar dapat berpuasa kembali setelah itu.  Dia shalat malam dan tidur, agar dapat beribadah kembali setelah itu.  Nabi juga menikah untuk menunjukkan kebenaran syariah yang dibawanya. 
Selain itu, pernikahan dapat memelihara diri dan jiwa seseorang, agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan, atau tenggelam dalam syahwat yang merusak.  Pernikahan dapat memelihara dan menahan pandangan seseorang dari sesuatu yang diharamkan Allah swt., memelihara kemaluan, dan menjaga harga dirinya.  Pernikahan pun akan memberi ketenangan, kasih sayang, dan rahmat.
Bagi orang-orang yang belum memiliki kemampuan untuk menikah, sifat iffah (menjaga kesucian diri) dapat diperoleh dengan berpuasa.  Puasa dapat memecahkan keinginan syahwat dan menahan diri dari hal-hal yang bisa merusak kehormatan.  Di dalamnya juga terdapat jihat untuk mengendalikan syahwat dan hawa hafsu.   
Dalam memilih calon isteri Islam melarang seseorang menjadikan kecantikan atau harta sebagai satu-satunya syarat untuk menikah dan tujuan utama dari pernikahan yang dilangsungkan.  Sebab, kecantikan dan harta tidak akan kekal, baik di sisi manusia, terlebih lagi di sisi Allah swt.
Nikah Muth’ah (kawin kontrak) ialah menikah dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu, tanpa harus ada wali atau saksi.  Nikah Muth’ah pernah dibolehkan oleh Nabi pada tahun penaklukan kota Mekkah dan beberapa saat setelah itu beliau mengharamkannya.



DAFTAR PUSTAKA

Hasyim, Ahmad Umar. Di Bawah Bimbingan Rasul. Jakarta: Senayan Abadi Publishing. 2004
Ja’far, Abidin dan M. Noor Fuady. Hadits Nabawi. Banjarmasin: Antasari Press. 2008
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2011


No comments:

Post a Comment