BAB I
TATA CARA MELAKSANAKAN ZAKAT FITRAH
DAN ZAKAT MAL
A.
Zakat Fitrah
1.
Pengertian Zakat Fitrah
Term
zakat fitrah berasal dari bahasa Arab, dan kini telah menjadi bagian dari kosa
kata yang berkembang dalam kultur komunikasi bangas Indonesia, khususnya di kalangan
umat Islam, karena zakat fitrah hanya ada dalam sistem peribadatan Islam
sebagai perwujudan dari ajaran syari’ah yang mereka anut. Dilihat dari segi kebahasaan, kata zakat
fitrah bermakna, membersihkan jiwa atau diri dengan cara mengeluarkan harta dan
diberikan pada mereka yang sangat memerlukan harta tersebut.
Sedang
menurut istilah dalam syari’ah Islam, zakat fitrah adalah mengelurakan beras
atau bahan makanan pokok sebesar + 2,5 kg, atau nilainya yang sepadan
dengan jumlah tersebut, dan didistribusikan kepada mereka yang memerlukannya,
untuk membersihkan diri atau jiwa yang mengeluarkannya.
Pensyari’atan
zakat fitrah yang merupakan sarana pembersihan jiwa atau diri bagi yang puasa
relevan dengan paradigma Islam tentang hak pemakaian dan konsumsi terhadap
sesuatu hasil usaha dari karunia Allah, yang tertuang dalam surah al-Dzariyat
ayat ke-19 yang berbunyi:
وَفِى أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ
وَالْمَحْرُوْمِ
Artinya : “Dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian.”
2.
Dasar Hukum Zakat Fitrah
Kewajiban
zakat fitrah dikemukakan oleh Rasulullah melalui beberapa haditsnya, antara
lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ر.ع. قَالَ، فَرَضَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ
عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمَرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ
أَوْ عَبْدٍ، ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ (رواه الجماعة)
Artinya: Dari
Ibnu Umar ra. dia berkata, bahwa Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah
pada bulan ramadhan kepada semua manusia yang beragama Islam, baik orang
meredeka maupun budak, laki-laki atau perempuan, dengan mengeluarkan 1 sha’
kurma atau 1 sha’ gandum. (H.R.
al-Jama’ah)
Melalui haditsnya ini Rasulullah
menyatakan langsung bahwa zakat fitrah merupakan suatu kewajiban, yakni
perbuatan wajib yang harus dipenuhi setiap muslim. Jika mengabaikannya mereka terancam dengan
dosa.
3.
Kriteria yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah
Para
ulama Hanafiyah mengidentikkan kewajiban membayar zakat fitrah dengan zakat
harta, yakni yang wajib membayar zakat fitrah itu adalah mereka yang mempunyai
penghasilan atau simpanan harta mencapai minimal senisab. Mereka berargumentasi dengan hasits Nabi saw.
yang berbunyi:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ ر.ع, قَالَ، قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لاَصَدَقةَ إِلاَّ عَنْ ظَهْرِ
غَنِيٍّ (رواه أحمد)
Artinya:
"Dari Abu Hurairah ra. dia berkata,
bahwa Rasulullah saw. bersabda, tidak ada kewajiban membayar shadaqah (zakat)
kecuali dari orang kaya."
(H.R. Ahmad)
Para
ulama Hanafiah berpegang pada suatu prinsip stratifikasi ekonomi menurut
syari’ah Islam, yang hanya membagi pada dua kategori, yaitu strata miskin dan
strata kaya. Indikator kaya adalah
nishab wajib zakat. Sedang orang miskin
adalah yang memiliki asset kekayaan di bawah ukuran nishab. Dan hadits di atas diterjemahkan oleh mereka
untuk kedua jenis zakat, yakni zakat harta dan penghasilan dengan zakat
fitrah. Oleh sebab itu, menurut mereka,
yang wajib membayar zakat fitrah adalah mereka yang mempunyai penghasilan atau
asset kekayaan senishab, sama dengan kewajiban zakat harta.
Sesuai
dengan hadits Ibnu Umar dan hadits Abu Hurairah ini, mereka menyimpulkan bahwa
kriteria wajib zakat fitrah itu ada tiga, yaitu:
1)
Beragama Islam
2)
Orang merdeka
3)
Memiliki kekayaan mencapai ukuran nishab wajib zakat.
Kriteria-kriteria
di atas adalah untuk melihat subyek hukum yang harus memenuhi kewajiban zakat
fitrah tersebut. Dan dia sendiri
dibebani untuk membayarkan semua orang yang berada di bawah tanggungan
nafaqahnya, termasuk anak dan budak atau hamba sahaya kalau di
memilikinya. Bahkan dia wajib
membayarkan fitrah untuk cucu dari anak laki-lakinya, karena termasuk dalam
tanggung jawab perwaliannya jika ayahnya tidak ada, dan mereka sendiri tidak
memiliki kekayaan yang cukup untuk itu.
Akan tetapi, seseorang tidak
diwajibkan untuk membayarkan zakat fitrah untuk ayah dan ibunya, walaupun
keduanya tinggal serumah dalam keluarganya, karena keduanya tidak berada dalam
jalur perwaliannya, demikian pula utnuk anak-anaknya yang sudah besar (dewasa)
yang harus sudah mandiri dalam kehidupannya.
Kemudian mereka juga tidak diwajibkan membayarkan zakat fitrah untuk
saudara perempuannya serta kerabatnya yang lain, sejauh belum masuk dalam
perwaliannya, walaupun tinggal serumah dengannya. Akan tetapi, sebaiknya dia membayarkan
seluruh anggota keluarga tersebut, sebagai suatu perbuatan baik, dan dalam
rangka melakukan yang terbaik dalam syari’ah Islam (istihsan).
4.
Waktu Pembayaran Zakat Fitrah
Jumhur ulama fiqh, termasuk para
ulama Hanafiah, berpendapat bahwa zakat fitrah itu diwajibkan saat telah
terbenam matahari di hari terakhir bulan
ramadhan, yakni di awal malam i’ed al-fitri, yakni bahwa zakat fitrah itu baru
wajib untuk dibayar setelah datang malam i’ed.
Namun mereka juga membenarkan pembayaran yang lebih awal dari itu. Bahkan Imam al-Syafi’i membenarkan pembayaran
zakat fitrah sejak awal ramadhan, karena menurutnya, ilat wajib zakat firah itu
adalah puasa ramadhan dan hari lebaran.
Oleh sebab itu, menurutnya waktu-waktu antara awal ramadhan sampai malam
i’ed adalah waktu untuk membayar zakat fitrah.
Namun menurutnya kewajiban pembayaran baru tiba malam ied. Sementara Malikiyah dan Hanabilah membatasi
sekitar dua atau satu hari menjelang i’ed al-Fitri, karena kalau diberikan
sejak awal ramadhan, pemberian zakat tersebut tidak akan mendukung terhadap
keperluan mereka di hari raya sebagai hari yang pantas dilalui dengan kegembiraan
sebagai hari kemenangan. Oleh sebab itu,
sebaiknya zakat fitrah itu diberikan menjelang i’ed al-fitri agar beras atau
uang yang mereka terima dapat dimanfaatkan untuk keperluan hari raya, sehingga
mereka pun dapat bergembira sebagaimana yang lainnya, dan tidak menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup pada hari kemenangan tersebut.
B.
Zakat Harta
1.
Pengertian dan Kedudukan Hukum Zakat Harta
Sebagaimana
pada zakat fitriah, pada zakat harta term zakat juga bermakna
membersihkan. Hanya saja yang
dibersihkan dalam zakat harta adalah hartanya itu sendiri, bukan jiwa atau diri
orang yang memiliki harta seperti dalam zakat fitrah. Dengan demikian, zakat harta adalah
mengeluarkan sebagaian dari harta simpanan, hasil usaha pertanian atau
peternakan atau hasil usaha jasa profesi, untuk membersihkan akumulasi harta
itu dari hak orang lain yang terdapat di dalamnya, dan didistribusikan kepada
mereka yang berhak menerimanya.
Zakat
merupakan salah satu perbuatan ibadah semata yang Allah tetapkan untuk umat
Islam, yakni suatu peribadatan melalui harta dan kekayaan mereka, karena
pemberian harta atau sesuatu kekayaan milik seseorang kepada orang lain melalui
sistem pemberian zakat, tidak ada unsur kepentingan jasa seperti dalam jual
beli, dan juga tidak ada unsur pembinaan kekuatan ekonomi keluarga dan kerabat
seperti waris, hibah, wasiat, dan wakaf.
Tapi zakat merupakan pemberian harta semata-mata sebagai wujud ketaatan
terhadap perintah Allah. Oleh sebab itu
perintah zakat dalam al-Qur’an sering disampaikan bersamaan dengan perintah
salat. Menurut catatan Sayyid Sabiq
(penulis Fiqh Sunah), penggandengan perintah salat dengan zakat dalam al-Qur’an
ditemukan + 82
kali. Hal ini menunjukkan bahwa zakat
adalah ibadah mahdhah, bukan ibadah sosial, hanya saja perbuatan ibadatnya
dilakukan melalui harta kekayaan (ibadah maliyah), bukan dalam bentuk peragaan
(ibadah badaniyah) seperti shalat, atau menahan diri dari berbagai nafsu
biologis seperti puasa.
2.
Syarat-syarat Wajib Zakat Harta
Pembayaran
zakat atas harta itu diwajibkan jika memenuhi beberapa persyaratan sebagai
berikut.
1)
Pemilik harta itu seorang muslim yang merdeka, yakni
dia itu bukan seorang hamba sahaya, karena hamba sahaya secara hukum tidak bisa
memiliki apa-apa, bahkan dirinya sendiri adalah milik orang lain.
2)
Baliqh dan berakal; yakni bahwa zakat itu diwajibkan
bagi setiap orang yang memiliki harta kekayaan atau penghasilan mencapai nisab,
dan sudah memasuki usia baliqh dalam keadaan sehat tidak terganggu kesehatan
jiwanya.
3)
Harta tersebut termasuk dari jenis-jenis harta yang
wajib dizakati, yakni emas dan perak (sebagai harta simpanan), uang simpanan
(deposito, tabungan dan yang sebangsanya), hasil tambang, barang temuan, harta
perdagangan, hasil pertanian, dan binatang ternak. Semua harta tersebut termasuk harta
berkembang.
4)
Mencapai nisab; yakni harta dan penghasilan yang wajib
dizakati adalah yang mencapai ukuran nisab, karena zakat harta itu diwajibkan
pada orang mampu, dan ukuran tingkat kekayaan seseorang adalah nisab. Oleh sebab itu, harta yang tidak mencapai
ukuran nisab, tidak wajib dizakati.
5)
Telah mencapai usia satu tahun pemilikan (haul); yakni
bahwa harta yang wajib dizakati itu adalah yang telah sempurna satu tahun dalam
kepemilikannya dan dalam jumlah nisabnya.
3.
Prosedur Pelaksanaan Pembayaran Zakat
Zakat
merupakan salah satu perbuatan ibadah semata, dan setiap peribadatan dapat
dikategorikan sebagai perbuatan ibadah jika diniatkan untuk beribadah kepada
Allah, yang dapat dilihat dari niat yang menyertai perbuatan tersebut.
Waktu
pembayaran zakat harta adalah sepanjang tahun, dan tidak dibatasi di bulan
ramadhan saja. Ketentuan waktu
pembayarannya adalah saat telah genap setahun pemilikan dalam jumlah nishab
untuk harta simpanan, harta perdagangan serta binatang ternak, dan waktu menarik
hasil (panen) untuk hasil pertanian.
Serta waktu memperoleh hasil untuk produk pertambangan dan barang
temuan. Memperlambat pembayaran dari
aturan-aturan waktu tersebut, merupakan kelalaian terhadap suatu perbuatan
wajib. Dan melalaikan perbuatan wajib
termasuk perbuatan dosa.
BAB II
PENUTUP
Simpulan
Secara semantik zakat fitrah bermakna membersihkan jiwa,
yakni membersihkan jiwa dari hak-hak orang lain yang sempat terkonsumsi
olehnya, karena tidak terkeluarkan lewat zakat atau shadaqah. Sedang menurut istilah adalah mengeluarkan
beras atau bahan makanan pokok sebesar + 2,5
kg, atau nilainya yang sepadan dengan jumlah tersebut, dan didistribusikan
kepada mereka yang memerlukannya, untuk membersihkan diri atau jiwa yang
mengeluarkannya.
Zakat fitrah merupakan suatu kewajiban syar’i bagi mereka
yang terkena kewajiban tersebut, yakni yang memiliki kelebihan harta setelah
diperkirakan berbagai keperluan untuk memenuhi kebutuhan perayaan i’ed
al-fitri. Mereka yang wajib mengeluarkan
zakat fitrah itu adalah muslim, laki-laki dan perempuan, anak kecil atau orang
dewasa, yang memiliki kelebihan untuk keperluan konsumsi lebaran keluarganya,
baik kepentingan konsumsi makan, membeli pakaian, insentif pembantu rumah
tangga, maupun untuk keperluan kunjungan keluarga yang lazim dilakukan umat
Islam Indonesia.
Adapun waktu pembayarannya menurut Jumhur ulama fiqh,
termasuk para ulama Hanafiah, adalah saat telah terbenam matahari di hari
terakhir bulan ramadhan, yakni di awal malam i’ed al-fitri. Namun mereka juga membenarkan pembayaran yang
lebih awal dari itu. Bahkan Imam
al-Syafi’i membenarkan pembayaran zakat fitrah sejak awal ramadhan, karena
menurutnya, ilat wajib zakat fitrah itu adalah puasa ramadhan dan hari lebaran,
sedang alat pembayarannya adalah makanan pokok, yakni beras untuk bangsa
Indonesia. Akan tetapi para ulama
Hanafiah membolehkan mengganti alat pembayarannya itu dengan uang, karena
menurut mereka, zakat fitrah itu untuk membantu faqir miskin, dan kebutuhan
faqir miskin itu tidak hanya memerlukan beras, tapi juga yang lainnya yang
dapat diperoleh dengan uang yang dimilikinya dengan zakat tersebut.
Zakat harta adalah mengeluarkan sebagian dari harta
simpanan, hasil usaha pertanian atau peternakan atau hasil usaha jasa profesi,
untuk membersihkan akumulasi harta itu dari hak orang lain yang terdapat di
dalamnya, dan didistribusikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Kedudukan hukum dari zakat harta adalah
fardhu ‘ain bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat kewajiban pembayaran
zakat tersebut.
Orang yang melalaikan kewajiban tersebut ada
kemungkinan menjadi fasiq dan ada pula kemungkinan dia menjadi kafir. Seseorang menjadi fasiq, jika dia melalaikan
kewajiban pembayaran zakat dengan tetap menyadari bahwa zakat itu wajib, hanya
saja dia melalaikannya. Akan tetapi,
jika dia itu juga mengingkari kewajiban zakatnya itu, maka dia menjadi kufur,
karena menolak salah satu aturan syari’ah.
pembahasan mengenai zakat fitrah dan zakat mal di bakri-blog.blogspot.co.id sangat membantu, saya suka artikelnya. terimakasih.
ReplyDelete